![]() |
Sumber : Dok Deraphukumpos disaat Acara di Gedung DPRD Kab. Malang |
Oleh: Busamat
Wakil Pimpinan Redaksi Deraphukumpos
DerapHukumPos.com --Perkembangan Nahdlatul Ulama (NU) dari masa ke masa adalah lembaran sejarah yang kaya dengan perjuangan, ilmu, dan nilai-nilai kebangsaan. Banom-banom seperti Muslimat, Fatayat, Ansor, IPNU, dan lainnya menjadi kebanggaan tersendiri bagi para pengikutnya. Namun di tengah kemajuan organisasi dan regenerasi yang cepat, terselip tantangan mendalam bagi para ulama dan pengurus yang benar-benar ikhlas menjaga hati umat.
![]() |
Busamat bersama tim penggerak Sosial beri bantuan untuk anak ngaji dan yatim piatu |
Sebagai santri dari Pondok Pesantren Assaifiyah Syafi'iyah di Desa Batubintang, Kecamatan Batumarmar, Pamekasan—sejak kelas 6 SD hingga lulus SMA—saya, Busamat, merasakan langsung kedamaian dalam menimba ilmu di bawah naungan para kiai NU. Salah satu sosok yang sangat membekas dalam ingatan saya adalah almarhum KH. R. Saifuddin Syuhri, pendiri pesantren dan panutan yang selalu menjaga netralitas dalam politik hingga akhir hayat. Beliau menegakkan prinsip bahwa pesantren adalah tempat ilmu dan keteladanan, bukan alat kekuasaan.
Namun kini, tantangan NU semakin nyata. Kemajuan dan perluasan lembaga harus sejalan dengan keteguhan moral pribadi para pemimpinnya. Sayangnya, berbagai kasus asusila yang menyeret pimpinan pondok, ketua yayasan, bahkan para ustaz tahfidz di sejumlah wilayah seperti Jawa Timur dan Jawa Barat serta wilayah lainnya, mencoreng nama baik organisasi. Masyarakat pun mulai resah, sebab oknum-oknum tersebut berlindung di balik jubah ulama dan surban suci.
kekerasan seksual yang melibatkan pimpinan yayasan atau pesantren di Indonesia, baik yang telah diproses hukum maupun masih dalam proses:
1. Trenggalek, Jawa Timur (2024)
Masduki (72) dan anaknya Muhammad Faisol Subhan Hadi (37), pengasuh pesantren di Kecamatan Karangan, divonis 9 tahun penjara dan denda Rp100 juta karena terbukti mencabuli santriwati.
2. Semarang, Jawa Tengah (2024)
MA alias BAA, pengasuh Ponpes Hidayatul Hikmah Al Kahfi, dijatuhi hukuman 15 tahun penjara, denda Rp1 miliar, dan restitusi Rp30,8 juta kepada korban atas pencabulan terhadap santriwati.
3. Sorong, Papua Barat Daya (2024)
Ikhwanudin, pimpinan Ponpes Salafiyah Syafi’iyah, divonis 12 tahun penjara dan denda Rp1 miliar karena terbukti mencabuli santriwati.
4. Pinrang, Sulawesi Selatan (2022)
Sulaiman Milla, pimpinan pesantren, divonis 6 tahun penjara atas kasus pencabulan terhadap santriwati. Jaksa mengajukan banding karena vonis dianggap terlalu ringan.
5. Karawang, Jawa Barat (2024)
KA, pimpinan pesantren, ditahan atas dugaan mencabuli enam santriwati sejak 2023 hingga Maret 2024. Kasus ini masih dalam proses hukum.
6. Karanganyar, Jawa Tengah (2023)
Seorang pemilik pesantren ditangkap karena diduga mencabuli lima santriwati. Penyidikan masih berlangsung oleh Polda Jateng.
7. Bandung, Jawa Barat (2022)
H, pemilik pesantren di Ciparay, ditetapkan sebagai tersangka atas pencabulan terhadap tiga santriwati dengan modus terapi tenaga dalam.
Kasus-kasus ini menunjukkan perlunya pengawasan ketat terhadap lembaga pendidikan keagamaan dan perlindungan yang lebih kuat bagi para santri, khususnya santriwati,
Ini bukan serangan kepada NU, tetapi panggilan hati nurani saya pribadi. Karena saya yakin, NU lebih besar dari sekadar oknum. Dan kiai sejati akan selalu menjadi pelindung umat, bukan pemangsa yang menyakiti santri.
Harapan saya dan jutaan umat Islam lainnya: semoga NU tetap jaya. Tetapi kejayaan itu tidak akan bertahan utuh dan harum jika kita abai terhadap marwah dan amanah. Mari kita bersihkan nama baik NU dari ulah segelintir orang yang merusaknya, dan kembalikan pesantren serta banom sebagai pelita umat, bukan bayangan kelam.