![]() |
Dokumentasi: Tampak Pintu Masuk Stasiun Pamekasan ditutup dengan sepanduk |
DerapHukumPos.com --Pamekasan -- Keputusan pemerintah daerah Kabupaten Pamekasan untuk menutup Stasiun Pamekasan (Tapsiun) telah memicu kontroversi besar di kalangan warga selaku pelaku UMKM puluhan tahun disana. Banyak pihak merasa kecewa karena penutupan dilakukan tanpa adanya koordinasi atau sosialisasi yang jelas.
Menurut informasi yang dihimpun,
tindakan pemerintah daerah Kabupaten Pamekasan tersebut dilakukan dengan alasan bahwa stasiun
sering digunakan untuk kegiatan negatif seperti minuman keras dan prostitusi.
Namun, keputusan ini menurut warga sekitar stasiun, dianggap menyakitkan perasaan masyarakat pelaku UMKM di stasiun pamekasan karena belum ada bukti kuat bahkan dianggap menfitnah masyarakat kecil serta dengan sengaja pemerintah daerah mendesak pelaku usaha di stasiun untuk menutup secara mendadak.
![]() |
Masyarakat tampak protes terhadap sekda Pamekasan yang hadir dilokasi tapi bungkam tanpa ada solusi. selain memaksa menutup lokasi usaha masyarakat. |
Salah seorang pedagang, Pak
Dedy, mengungkapkan kekecewaannya karena dirinya dan banyak pedagang lain
merasa tidak diberi kesempatan untuk mencari solusi atau bahkan diberi
penjelasan yang jelas tentang alasan penutupan.
Pak Dedy, yang mengaku hanya
mengandalkan pendapatan dari menjual es batu dengan penghasilan sekitar Rp
50.000 per hari, merasa kebingungan karena penutupan ini sangat merugikan usahanya,
apalagi dengan adanya tuntutan untuk pindah ke lokasi yang dianggap tidak
layak, bahkan dekat dengan tempat pemakaman. Ia juga mengungkapkan bahwa
dirinya memiliki cicilan bank yang harus dibayar, dan penutupan ini semakin
menyulitkan kondisi ekonominya.
Kekecewaan semakin kuat karena banyak pihak merasa bahwa pemerintah daerah tidak memberikan solusi atau mempertimbangkan keberlangsungan usaha masyarakat kecil. Apalagi saat ini, ada masalah besar terkait Pagar Laut, kerusakan mangrove dan kasus tanah dilahan perhutani berbentuk SHM pribadi yang tidak terurus, bahkan pemerintah tampaknya lebih fokus pada penutupan tempat-tempat usaha kecil yang dianggap mengganggu ketertiban tanpa ada alasan yang rasional serta kongkrit.
Beberapa kalangan termasuk Sekda
DPD BNPM kabupaten Malang yang berasal dari pamekasan mencurigai bahwa ada dugaan
“unsur politik yang mempengaruhi keputusan ini, dengan dugaan adanya hutang
politik kepada pihak korporasi tertentu yang berpotensi mendapatkan keuntungan
dari penutupan usaha masyarakat kecil”. Ungkap Busamat yang inten menyoroti
pagar laut, pengrusakan mangrove hingga pulahan terbitnya SHM di pesisir laut
pamekasan.
Pemangku Kebijakan yang berperan penting di wilayah stasiun pamekasan diduga dalam membuat keputusan dalam surat edaran dianggap “ terlalu dini
membuat keputusan kontroversial, Surat Edaran yang keluar tidak memperhatikan perda-perda
yang seharusnya dijalankan dengan baik , dan jika ada salah satu pelaku usaha membuat pelanggaran tata tertip kawasan stasiun, maka yang
melakukan kesalahan yang di proses, dibina, ditindak, bahkan kalau bisa dikeluarkan dari lokasi usaha, asalkan ada bukti kuat, jangan dibalik, ada yang dianggap melanggar malah tempat usahanya yang ditutup, ini suatu tindakan tidak manusiawi dan tidak menjalankan tugas fungsi pokok perda”. Ungkap busamat dengan nada tegas.
Intinya SE yang di edarkan kamis, (27/03) sekaligus langsung memaksa masyarakat menutup usahanya, Menambah ketegangan sosial di Pamekasan dan menunjukkan pentingnya komunikasi yang lebih baik antara pemerintah daerah kabupaten Pamekasan dengan masyarakat khususnya pelaku UMKM di Stasiun Pamekasan yang terdampak.
Pemerintah pamekasan seharusnya lebih fokus pada penciptaan lapangan pekerjaan bukan menciptakan tambahan pengangguran baru, serta sebagai pemerintah daerah mencari solusi terbaik untuk masyarakat.
Pemerintah Daerah masih punya
tanggung jawab besar terkait beberapa kasus besar di pamekasan yang perlu
diperhatikan, salah satunya pagar laut, pengrusakan mangrove serta Tanah negara yang di SHM secara pribadi oleh mantan
Kades dan H. Syafi’I cs.