Ketua dan Wakil Ketua BNPM DPD Kabupaten Malang bersama dengan Keluarga M. Wahid Hasyim Afandi dan M. Ikbal Faisal Amir |
DerapHukumPos.com -- Malang, Turut berduka cita terhadap kejadian yang menimpa korban Sri Agus Iswanton, namun keadilan sesungguhnya hanya akan didapat dengan peradilan yang adil dan pengungkapan kasus yang seutuhnya tanpa cacat prosedur dan pelanggaran HAM dalam proses peradilan.
Barisan Nasional Pemuda Madura (BNPM) Kabupaten Malang menerima kuasa untuk mengawal kasus pembunuhan yang melibatkan dua tersangka, M. Wahid Hasyim Afandi dan M. Ikbal Faisal Amir, yang diduga terlibat dalam kematian Sri Agus Iswanto. Kuasa ini diberikan langsung oleh orang tua kedua tersangka, yang merasa khawatir akan potensi ketidakadilan dalam penanganan kasus tersebut.
M Wahid Hasyim Afandi dan M Ikbal Faisal Amir sebagai tersangka kasus pembunuhan Sri Agus Iswanton,
Afan dan Ikbal diduga melakukan pembunuhan, melanggar Pasal 365 KUHP jo Ayat (4).
“BNPM DPD Kabupaten Malang menaruh perhatian terhadap pemenuhan hak tersangka pada kasus ini. Penyidik kepolisian Polres Malang harus memastikan bahwa setiap orang yang menjalani proses peradilan pidana terpenuhi hak-haknya sepanjang proses pemeriksaan, mulai dari tingkat penyidikan, penuntutan, hingga putusan pengadilan, sesuai amanat KUHAP bukan hanya di sidang pengadilan saja,” seperti yang disampaikan M. Yasin ketua BNPM DPD Kabupaten Malang pada Jum’at (6/12) siang.
Salah satu hak penting yang wajib dipenuhi oleh penyidik terhadap tersangka adalah ia tidak boleh dipaksa bersaksi melawan dirinya sendiri dan mengaku bersalah (self incrimination), tersangka juga memiliki hak atas asas praduga tidak bersalah. Dalam KUHAP, asas praduga tidak bersalah tertuang dalam Penjelasan Umum Butir Ketiga yang menyebutkan bahwa setiap orang yang disangka, ditangkap, ditahan, dituntut, atau dihadapkan di muka sidang pengadilan, wajib dianggap tidak bersalah sampai adanya putusan pengadilan yang menyatakan kesalahannya dan memperoleh kekuatan hukum tetap. Dengan begitu, dalam kasus ini, sebagai tersangka wajib dijamin haknya untuk bersaksi atau memberikan keterangan sejak pemeriksaan di tingkat penyidikan.
Terkait tersangka yang secara terang-terangan membantah tuduhan pembunuhan dan terhadap korban Sri Agus Iswanton, penyidik dan publik perlu mengantisipasi pernyataan tersangka tersebut sebagai potensi kasus salah tangkap, mengingat kasusnya sudah terjadi sejak 8 bulan ditambah lagi tersangka secara eksplisit membantah tuduhan.
Mengenai potensi terjadinya penyiksaan, beberapa pasal di dalam KUHAP sebenarnya sudah mengarah pada aturan bebas dari penyiksaan, antara lain melalui pernyataan bahwa tersangka atau terdakwa berhak untuk memberikan keterangan secara bebas kepada penyidik atau hakim (Pasal 52 KUHAP),
“Keterangan tersangka kepada penyidik harus diberikan tanpa tekanan dari siapapun atau dalam bentuk apapun (Pasal 117 KUHAP). Pun tercermin secara tidak langsung melalui aturan bahwa tersangka atau terdakwa tidak dibebani kewajiban pembuktian (Pasal 66 KUHAP) serta keterangan terdakwa hanya dapat dipergunakan bagi dirinya sendiri (Pasal 189 Ayat (3) KUHAP).”
Pasal-pasal itu menegaskan bahwa keterangan tersangka bersumber pada kehendak bebas sehingga harus bebas dari kekerasan atau penyiksaan.
Tidak hanya itu, “Sejumlah ketentuan di dalam KUHP juga dapat digunakan terhadap penegak hukum yang melakukan penyiksaan terhadap tersangka pada proses penyidikan. Pasal 422 KUHP secara tegas memberikan ancaman pidana penjara terhadap seorang pejabat yang dalam suatu perkara pidana menggunakan sarana paksaan, baik untuk memeras pengakuan, maupun untuk mendapatkan keterangan. Pasal-pasal terkait penganiayaan juga dapat dikenakan terhadap penegak hukum yang melakukan penyiksaan kepada tersangka,” ujar Yasin.
“Dengan kuasa yang diberikan oleh orang tua tersangka, BNPM akan berupaya untuk memastikan bahwa setiap langkah dalam proses peradilan ini berlangsung tanpa adanya penyimpangan, dan menghasilkan putusan yang benar dan adil, sesuai dengan hukum yang berlaku,”imbuhnya.(Ari)